[Budaya pencitraan Bangsa]
menyongsong tahun baru
Ketika kebebasan dinobatkan menjadi citra utama dalam kehidupan di era reformasi bangsa ini, justru dipertanyakan, karena ternyata kemerdekaan masih di perjuangkan dalam alam kemerdekaan. Manusia di didik tidak untuk menjadi berbudipekerti yang luhur tetapi menjadi manusia “karbitan” yang cerdas didalam persaingan di dunia global, memburu sukses dan menjadi nomor satu . Kalah adalah aib dalam kehidupannya, dan menang adalah tujuannya.Akibatnya manusia menjadi tidak peduli terhadap cara mencapai keberhasilan, menjadi pembenaran adalah dengan berbagai cara apa pun. Kalau perlu dengan cara menerkam dan memangsa saudara saudaranya sendiri.seperti serigala serigala yang diceriterakan Thomas hobes, “homo hominilupus”.Lahirlah kiat kiat strategi sukses yang membenarkan tipudaya, karena hukum hanya sebatas kata, tak pernah dilaksanakan.
Mendewakan dunia semakin meluas dan merasuk berbagai hal, semua yang bersifat kesenangan, kekerasan bahkan berbau kematian. Saat ini kita telah memasuki wilayah eksistensi baru yang dikontrol penuh oleh korporasi atau industri citra.
Kekerasan yang lahir di sekitar kita, kesaksian terhadap penderitaan dan bahkan kematian, jeritan, tangisan dan kepiluan yang dalam telah melahirkan tayangan. sebagai tontonan yang kita sebut “reality show”. Seberdaya apa sekarang ini kita bisa menolak apa yang tidak pantas untuk dilihat oleh kita dan anak anak kita? Hal ini semua telah melahirkan dunia citra yang menyelimuti kehidupan kita.
Pada sisi dunia lain lahir masyarakat bintang yang dibidani oleh komunitas dengan wajah yang sangat “edukatif “ seperti AFI , KDI, Indonesian Idol. Mereka lahir dari resonansi kesenangan, pengalaman, fantasi fantasi masyarakat dunia virtual, dunia yang tidak menapak pada kenyataan. Bintang-bintang menjadi mashur secara mendadak, yang memang menjadi harapan dan impian masyarakat dalam realitas virtual. Yang dengan pesat lahir dari yang dulunya dikenal sebagai dunia yang penuh frustasi dan keterbatasan. Para orang tua telah menjejali anak anaknya dengan motifasi”luhur” untuk menjadi maha bintang. Yang dulu dunia ini adalah dunia yang terdiskriminasi dalam pola pendidikan kita. Pada masa itu nilai nilai hidup yang ditanamkan semata mata adalah untuk menjadi manusia yang lebih edukatif, lebih akademik, lebih saintifik, lebih etik dan lebih relijius.Realitas ini telah mengalami kebangkrutan, kita telah menjadi imun terhadap tontonan tontonan kekerasan yang selalu ditayangkan.Kita tanpa terasa, tanpa disadari, telah menembus wilayah dan menikmati hidup yang jauh dari kenyataan [“de Realisasi ‘]
Dalam gerakan permodalan terlihat juga tumbuh berkembangnya konsumerisme, yang dimotori rohnya oleh seorang penggagasnya Stuart Ewen [1970] bahwa : “Pebisnis harus memiliki visi ke depan.Pebisnis tidak hanya peduli terhadap produksi barang, tetapi Pebisnis harus juga mampu mendorong publik untuk membeli dan Pebisnis harus dapat menciptakan keinginan psikis untuk menkonsumsi barang”. Sekarang ini betapa naifnya kita apabila mengira seolah-olah kebebasan memilih begitu besar tumbuh dalam kehidupan kita.Karena pada kenyataannya kebebasan itu tidak lebih dari ilusi, kebebasan hubungan pasar dengan impian impian .Dunia virtual telah merajalela menebarkan sukacitanya di masyarakat. Dan masyarakat telah membayar kontan semua itu dengan impian dan fantasi virtual.
Ukuran yang digunakan untuk menakar segala sesuatu kini hanya menggunakan angka angka semata dan di puncaknya adalah keuntungan.Kalau lebih besar, kalau lebih banyak, kalau lebih tinggi, kalau lebih efektif, kalau lebih efisien, maka semua itu adalah nilai yang baik.Tetapi satuan nilai , seperti pengorbanan, keikhlasan, yang dulu di mulyakan untuk membina kebersamaan, persaudaraan, kenyamanan, ketenangan, kedamaian dan sebaginya bergeser sudah. Itulah wajah kita kini!.
Selamat Tahun Baru.
Desember 2008 agoesjoesoef
Tidak ada komentar:
Posting Komentar