Desember 16, 2008

DIANTARA DUA SISI

Perjuangan seorang Ahmad Yunus di Bangladesh, adalah upaya sebuah pembuktian bila kemiskinan bukan dikarenakan kemalasan. Kemiskinan adalah terjepitnya masyarakat karena tidak berjalannya usaha yang dikarenakan tersendatnya perputaran modal. Lewat sejumlah reset yang dilakukan Ahmad Yunus beserta para mahasiswanya, menemukan jalan keluar yang membebaskan masyarakat miskin dari kemelaratan. Permodalan adalah masalah utama, sehingga dibentuklah badan bantuan modal yang diawali dari dana pribadi Yunus sendiri.Pinjamaan kepada masyarakat tersebut tanpa membebani jumlah dan waktu pengembaliannya. Karena hal ini, telah melahirkan sektor ekonomi lemah itu menggeliat bangkit dari lumpur kemiskinan. Pembuktian mengatakan usaha bantuan ini telah melahirkan badan usaha perbankan nya Yunus tumbuh-kembang sejalan dengan kesejahteraan masyarakat miskin. Tumbuh menjadi lebih berdaya dalam tatanan ekonomi Bangladesh.
Sudut pandang lain mengatakan intervensi kekuasaan dan kelompok tertentu melalui motor politiknya, juga telah menggerus kehidupan masyarakat untuk kepentingan mengukuhkan dan melanggengkan kekuasaan.Sehingga kemiskinan menjadi “komoditi”yang tetap dipelihara untuk menjadi modal dalam menciptakan rezim penguasa.
Nun di sudut lain ada ehidupan dalam tahap kemiskinan absolute, dimana tangan kemiskinan telah menjepit hingga sebatas tenggorokan seseorang, sehingga batas iman dan kemaksiatan hapir lekat tanpa pembatas. Kedua hal tersebut dimata mereka itu tidak ada lagi pembeda.Dalam dorongan kebutuhan yang mendesak mendapatkan uang, dengan cara melipat gandakan nominal rupiah itu menjadi hal yang halal semata. Jerit anak yang menangis dalam lapar, istri yang batinnya kusut masai melayani kehidupan, seorang suami dengan batin hampa menelusuri jalan mengais usaha, guna mendapatkan dan memenuhi kebutuhan keluarga. Adalah Tuhan yang memantau di sana dengan kearifan dan keadilaNya, tetap melihat sungguhpun perbedaan tipis antara iman dan kemaksiatan itu bangiNya adalah tetap sebuah nilai. Dengan keAgungan Allah, sungguh keimanan manusia itu berjenjang dalam pandanganNya. Dalam rentang tingkat fakulti yang beragam, ada nilai nilai kesucian yang tak terbantahkan, walaupun itu pada tingkat manusia yang sederhana pola pikirnya, hingga mereka yang dalam dan kental tingkat ibadahnya.
Pada sisi lain, paradoksi terjadi secara fenomenal, adalah mayoritas masyarakat ini yang kerap beribadah pada setiap kesempatan, dalam berbagai acara wajib hingga bukan wajib. Mereka datang memmbanjiri setiap tempat dan ruang ibadah di setiap sudut kota ini. Dakwah-dakwah dalam muatan anjuran yang penuh hikmah, penuh kearifan, penuh kejujuran dan sarat kebenaran atas dasar fatwa-fatwa Yang Maha Kuasa. Lidah yang senantiasa basah dengan doa-doa yang diawali kata suci Tuhan dan salawat kepada junjungan penghulu para Rasul Tuhan. Ucapan doa dan harapan-harapan menuju kebaikan dan keutaman sebagai manusia yang maslahat dan selamat dan menyadarkan akan hari akhir yang lebih menjanjikan ketimbang kefanaan dunia ini. Namun selepas ritual itu, dan mereka kembali terjun dalam kehidupan nyata dunia, malah kembali menjadi srigala-srigala yang memangsa sejenisnya sendiri. Ucapan dari doa yang penuh harapan membina kebaikan dan keutamaan, sebagai manusia yang maslahat itu kandas,sirna,lenyap menguap mulai sejak dari gerbang tempat ibadah menuju ke kehidupannyata itu.
Adalah menjadi pertanyaan besar sebagai bangsa yang mayoritas pemeluk agama rahmatan Iii alamin, bahkan pemilik kuota haji no 2 terbesar di dunia, yang berarti jumlah tingkat naik haji yang sangat banyak setiap tahun, Namun tak ada jejak dan bekas iman da!am hatinya. Ada pandangan yang mengatakan bahwa telah terjadinya miss information yang disampaikan para pemuka agama dalam menyampaikan tafsir Islam dalam mengisi dan menerapkan nya dalam kehidupan. Rupanya ajaran langit ini perlu kecerdasan dalam "membacanya" dan kemudian memaknai isinya, kemudian dengan kreatifitasnya menerapkan dengan arif dalam berbagi macam kasus kehidupan manusia. Inilah jembatan yang hilang antara kualitas terhadap pemahaman tekstual firman Allah dengan kehidupan nyata manusia. Jelas tersurat dalam kitab suci al Quran pad a ayat pertamanya yang menganjurkan untuk membaca, dan, dalam sekian firmannya yang simbolik untuk dapat membaca alam yang juga sebagai ayat ayat Tuhan. Namun makna itu rupanya hanya mampu dibaca oleh mereka yang tafakarun, mereka yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan. Esensi kebenaran ajaran ini tidak semata-mata dapat dipetik hanya bagi mereka yang memiliki kecerdasan penafsiran dan pemahaman dalam penerapannya. Esensi kebenaran hendaknya juga dimiliki oleh mereka yang yang berjiwa besar dalam menerima perbedaan bahkan mungkin bersebrangan pandangan. Karena perbedaan itu adalah menjadi alat pembeda antara kebenaran dan kebatilan, antara keindahan dan keburukan, antara hakekat dan syariat. Oleh karena itu pembeda itu menjadi sangat penting dalam kehidupan, dialah sparing partner kita menuju ujian yang sebenarnya , menuju kesempurnaan.

[rangkuman renungan minggu pagi jamaah Ash Shofa,13 juli 08]
agoesjoesoef

Tidak ada komentar:

Posting Komentar