Maret 07, 2009

PEMBELAJARAN DEMOKRASI DAN IKLAN GERINDRA


PERAN dan TANGGUNG JAWAB IKLAN
DALAM MENGUBAH CITRA MASA LALU
SEORANG CAPRES

Agoes joesoef praktisi dan dosen Prodi DKV

Abstract
As the season of campaign has come in 2009, it is the right time for rising opportunities to build a presidential candidate’s image. Interested candidates come from different backgrounds in society, where the spirit lies from equal opportunities for every citizen to take part in the election. In this situation, as a growing learning process, democracy will only succeed if all political candidates consciously would give a thorough understanding in their campaign, where they should take responsibility for everything said. A desainer’s role is to be able to comprehend this as a source of ‘raw materials’ to establish the image of caleg (legislative candidate) and capres (presidential candidate) in implementing the data into the content of all media communication which will then be the designer’s responsibility to inform its truth and sincerity.

Pendahuluan
Kekuatan reformasi pada tahun 1998 telah meruntuhkan rezim Soeharto, menyebabkan terbukanya lembaran baru dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini juga telah menggeser kehidupan berdemokrasi yang lebih baik. Terlepasnya kekangan kekuatan otoriter ini telah melahirkan bentuk baru dalam masyarakat. UUD 1945 Bab XI Pasal 28F dan 28J, telah melahirkan cara baru dalam pola berfikir bangsa, yang berisi tentang kebebasan rakyat untuk menyampaikan aspirasinya melalui berbagai saluran. Setiap warganegara bebas mengatakan segalanya, bebas untuk percaya ataupun tidak tanpa ada tekanan, namun dengan penuh tanggung jawab. Masyarakat dituntut untuk bersikap lebih kritis dalam menyerap berbagai informasi. Pengalaman buruk dimasa lalu dan menyusulnya era kebebasan berkomunikasi ini mendorong bangsa untuk menjadi lebih cerdas. Bersamaan dengan era kebebasan berkomunikasi itu, telah melahirkan pula sejumlah partai politik yang berisi para intelektual yang selama itu merasa tertekan, namun sebenarnya mereka meyakini mampu untuk memimpin dan mengendalikan serta membawa bangsa ini.
Pada era Orde Baru, partai politik hanya ada tiga saja, namun sekarang telah lahir sebanyak 38 lebih partai politik yang sudah di syahkan untuk turut Pemilu 2009 oleh pemerintah. Sekian banyak partai untuk merebut kursi-kursi kekuasaan menyebabkan suasana menjelang pemilu ini terasa semakin gaduh dan sesak. Semua partai sibuk me mikirkan strategi komunikasinya agar janji-janji mereka dapat diterima oleh masyarakat.
Salah satu cara berkomunikasi dari partai tersebut kepada khalayak adalah melalui media masa, yaitu media komunikasi yang sifatnya mekanis seperti surat kabar, radio dan televisi. Televisi adalah salah satu media masa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari partai politik yang dikemas dalam bentuk iklan.
Terkait dengan teori Pembelajaran Khalayak dari Schiffman & Kanuk, maka dapat kita lihat adanya kecenderungan menetapkan pilihan informasi dari televisi oleh khalayak sangat dipengaruhi oleh frekuensi [terpaan] informasi tsb. Berarti peran frekuensi penyiaran memberikan pengaruh besar dalam penetapan pilihan oleh khalayak. Dalam teori ini terdapat langkah untuk pengambilan keputusan oleh khalayak, dimana informasi yang mereka peroleh dalam iklan politik akan diolah untuk menetukan alternatif partai politik mana yang dianggap dapat menciptakan suatu keadaan yang mendukung untuk terpenuhinya kebutuhan hidup mereka yang berorientasi kepada kesejahteraan. Proses pembelajaran khalayak yang ditindak lanjuti dengan proses pengambilan keputusan, merupakan proses yang melibatkan tiga komponen psikologis dalam diri khalayak. Hal ini sama dengan model Lavidge & Steiner, yang mengungkapkan bagaimana komponen Kognitif, Afektif dan Konatif membentuk persepsi, preferensi dan tindakan yang akan dilakukan terhadap suatu ide yang ditawarkan melalui iklan tsb. Televisi merupakan sebuah system storytelling yang tersentralisasi karena untuk mengatasi keterhalangan keberaksaraan dan mobilitas. Televisi juga merupakan sarana umum yang bersifat primer , televisi adalah media sosialisasi dalam informasi sehari-hari, mulai dari populasi yang bersifat heterogen. Tentu saja berbeda dengan media-media lainnya , karena televisi menyediakan set pilihan terbatas yang justru untuk beragam interest publik yang tidak terbatas. Fungsi televis dalam masyarakat adalah : 1. sebagai pemberi informasi, 2. sebagai alat untuk pendidikan, 3. sebagai alat hiburan, 4. dan sebagai sarana untuk mempengaruhi [Onong, 1992]. Televisi adalah media perantara antara komunikator dan khalayak. Kelebihan televisi adalah memiliki audio sekaligus visual yang memungkinkan komunikator untuk dapat mendemonstrasikan ide maupun produknya kepada khalayak mereka dengan jelas dan gamblang. Disamping itu dengan menggunakan televisi informasi yang disampaikan dapat lebih menarik perhatian, karena dapat bergerak dan bersuara sekaligus memiliki kemampuan menciptakan suasana yang mendukung suatu pesan yang akan disampaikan kepada khalayak yang mendapat terpaannya.
Dalam kenyataannya periklanan terbagi menjadi dua, yang pertama :”Adalah periklanan komersial, yang bagi kita tidak memiliki kepentingan langsung, meliputi periklanan konsumen dan periklanan perusahaan”. Yang kedua “adalah periklanan non komersial, yang dilakukan oleh kelompok amal, pemerintah, kelompok politik dan kandidat politik” Nimmo.[ 1999;135]
Walaupun kedua jenis periklanan tersebut memiliki perbedaan, tetapi ada pula persamaannya, yaitu menjanjikan dan mempromosikan suatu gagagsan yang ditujukan kepada khalayak masal yang dilakuan melalui himbauan yang dibayar dan atau disponsori. Kemudian masih menurut Dan Nimmo dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America mengatakan: “Karakteristik periklanan adalah beroperasi sebagai komunikasi satu arah kepada banyak individu dalam masa yang heterogen, dan bukan dalam kelompok yang homogen seperti layaknya dalam propaganda. Periklanan bekerja dengan cara yang berbeda, pertama, sasarannya bukan individu dalam suatu kelompok, melainkan individu yang independen, merdeka, terpisah dari kelompoknya. Kedua, tujuan sasarannya bukan untuk mengidentifikasi individu dengan kelompoknya, melainkan untuk menarik perhatian orang dari padanya, agar orang itu bertindak dan memilih secara tersendendiri. [Nimmo, 1999:132].
Jadi kita lihat bahwa iklan politik, adalah bersifat propaganda, namun sasarannya lebih bersifat perorangan. Dengan demikian sepenuhnya respon yang dihasilkan dari iklan politik adalah menjadi pilihan pribadi bagi yang terkena terpaannya.
Adapun tujuan partai politik untuk beriklan melalui televisi adalah, menurut Julita R. Gomez dan Lilian B. Arnet buku mereka : Advertising [1998] 9-10] adalah mencakup empat hal yaitu :
1. Memberitahukan [Informing Obyektive], kepada khalayak tentang apa yang ditawarkan, apa yang akan dilakukan oleh produk tsb bagi khalayak dan bagaimana produk akan menguntungkan khalayak.
2. Membujuk [Persuading Obyektive], yaitu bertujuan untuk merangsang perubahan perilaku atau tindakan khalayak. Menciptakan citra positif yang akan mempengaruhi tindakan khalayak pada waktu mendatang.
3. Meningkatkan [Reminding Obyektive] yaitu untuk menanamkan nama pengiklan pada benak khalayak.
4. Memodifikasi pelaku [Modification Obyektive], yaitu untuk meyakinkan khalayak agar berpindah dari satu nama pesaing kepada satu nama yang di iklankan.

Iklan partai politik yang tampil di televisi menjelang pemilu 2009 ini, memiliki sejumlah tujuan, antara lain: memberitahukan kepesertannya dalam pemilu mendatang, mengingatkan nomor partai si pengiklan, memperkenalkan tokoh figur dari partai yang beriklan dan tentu saja memodifikasi khalayak untuk memilih partai pengiklan.
Perilaku khalayak yang termodifikasi oleh iklan politik inilah yang kemudian akan menentukan bahwa proses komunikasi yang terbentuk antara partai politik / figur tokoh sebagai komunikator, dengan khalayak sebagai komunikannya itu efektif atau tidak. Komunikasi yang efektif itu apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat memberikan respon terhadap khalayak seperti yang diharapkan. Respon yang diharapkan oleh partai adalah tindakan khalayak berupa pemilihan partai politik sesuai dengan yang mereka lihat.

Teknik eksekusi iklan televisi
Teknik eksekusi yang dilakukan oleh media televisi sangat erat kaitannya dengan target sasaran yang akan disampaikan. Artinya bila menyampaikan satu pesan yang sama belum tentu akan diterima sama oleh dua atau lebih individu sebagai khalayak, karena khalayak memiliki karateristik yang berbeda beda. J. Thomas Russell dalam bukunya Kleppner’s Advertising Procedures [2000: 498-503] menyebutkan sejumlah teknik eksekusi dalam iklan televisi, yaitu berupa :
1 Testimonial
2 Serials
3 Demonstration
4 Storyline
5 Spokesperson
6 Still Photograph and Artworks
7 Slice of Life
8 Customer Interview
9 Vignettes and situation
10 Informacial

Dalam eksekusi yang dilakukan oleh partai politik di televisi saat ini lebih banyak menggunakan eksekusi spokesperson. Dijelaskan oleh Otto Kleppner teknik spokesperson adalah :
“The spokeperson may display and perhaps demonstrate the product. He or She may in the set [indoor–outdoor] appropiate to the product story, or in limbo [plain background with no set]. The product should be the hero. The spokeperson should be someone who likeable and believable but not so powerful as to overhelm the product.” [Kleppner 2000:503]
Jadi spokespeaker tersebut harus memiliki kredibilitas yang baik dan mewakili citra parpolnya sehingga pesan parpolnya dapat membentuk persepsi kuat di khalayak dan tentunya dapat mempengaruhi khalayak untuk dapat memilih parpol di pemilu medatang. sebab media bukan hanya berperan sebagai media komunikasi akan tetapi sebagai sebuah media konstruksi identitas seorang tokoh bangsa.

Partai Politik
Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya yang berjudul : Constitutional Government and Democracy : Theory and practice in Europe and America, yang kemudian dikutip oleh Guru Besar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan politik Universitas Indonesia, Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik mengatakan : “ Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap [pemerintahan bagi pemimpin partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil “ [ Budiardjo, 2000 :161]

Prabowo Subianto
Pembahasan ini adalah menyangkut seorang tokoh militer yang pada saat ini mengembangkan dirinya masuk ke kancah politik, menjelang pemilu 2009 mendatang, tokoh ini merencanakan dirinya mejadi calon presiden RI. Dialah, Prabowo Subianto, dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1951 di Jakarta, putra Profesor Sumitro Djojohadikusumo seorang tokoh ekonom Indonesia. Prabowo dibesarkan di Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong, Swiss dan Inggris. Dia lulus dari akademi militer pada 1974. Dia melanjutkan pendidikan anti terorisnya di Amerika Serikat [Fort Bragg, 1980; Fort Benning, 1985], dan menjalani pendidikan special force GSG-9, di Jerman Barat [1981], dengan nilai terbaik dari setiap pendidikan yang dijalaninya. Pada tahun 1983 ia menikah dengan putri Presiden Suharto, Siti Hediati Harijadi [Titiek]. Pada tahun 1983, dia dikirim ke Timor Timur dengan detasemen 81-nya [D81], disana dia membentuk milisi Tim Alfa di Lospalos. Di kota ini dia telah terlibat dalam pembunuhan besar-besaran di Kraras pada bulan September 1983. Dalam kasus ini juga melibatkan banyak sejumlah jenderal dan perwira tinggi, dan Prabowo disebutkan hanya sebagai tokoh di belakang layar saja.
Dalam karirnya, setelah delapan tahun di Kostrad dia kembali ke Kopassus pada tahun 1993 sebagai komandan dari Kelompok 3, sebagai komandan pasukan khusus, dan unit pelatihan nya berlokasi di Batujajar, Jawa Barat. Dia juga berperan sebagai seorang pemimpin milisi pelatihan. Dalam fase “rising star”ini dia naik menjadi wakil Danjen Kopasus pada tahun 1994-1995 dan kemudian pada 1995-1998 diangkat menjadi Danjen Kopasus. Dia adalah jenderal termuda dibanding dengan rekan-rekan seangkatannya, hal ini karena jasanya telah mampu membasmi OPM di Irian Jaya. Keberhasilan lainnya adalah, adanya misi pendaki gunung, dimana termasuk anggota Kopassus di dalamnya, yang berhasil mencapai puncak Himalaya, gunung tertinggi di dunia. Keberhasilan menancapkan bendera Merah Putih di sana sebagai bukti kemampuan manusia Indonesia untuk berprestasi di tingkat dunia. Kemudian dia juga adalah sebagai perencana pemekaran pembentukan Kopassus menuju organisasi militer yang lebih besar daripada sebelumnya. Dalam Angkatan Bersenjata RI, status Kopassus sebagai pasukan elite Indonesia pun semakin meningkat. Hal ini dibarengi dengan kenaikan pangkat Komandan Kopassus yang berarti kenaikan pangkat Prabowo sebagai sang komandan. Pada Maret 1998 ia dipindahkan ke Kostrad, menduduki jabatan Komandan Kostrad. Tetapi pada awal 1998 dia terlibat penculikan para mahasiswa aktifis anti-Suharto, dan karena kesalahan itu dia diberhentikan dari jabatan sebagai komandan Kostrad. Kemudian menyusul diberhentikannya juga dari angkatan bersenjata setelah dilaksanakannya penyelidikan internal yang dilakukan [DKP] yang menyatakan bahwa Prabowo melanggar HAM. Oleh karena hal itulah, citra Prabowo saat ini sebagai calon presiden dari partai Gerindra akan selalu berkompetisi dengan memori lamanya yang dianggap melanggar HAM, yaitu karena menculik para aktivis mahasiswa dan kegagalannya dalam konvensi Golkar di tahun 2004.[ Mohammad Qodari 2008]

Iklan Gerindra
"Saya Probowo Subianto," diiringi penampilan sang pria dalam sejumlah aktivitas. Dan,setiap kali selesai mengajak masyarakat untuk berjuang bersama keluar dari kesulitan, berkumandanglah suara perempuan:"Gerindra!" Begitulah sekilas ilustrasi iklan Partai Gerindra yang cukup fenomenal. Tidak bisa dimungkiri. belakangan ini Gerindra adalah sebutan baru yang sering dibicarakan dalam kancah politik di Indonesia. Ini tak lepas dari gencarnya iklan televisi yang Gerindra tayangkan. Bukan hanya itu, materi iklan yang mereka sajikan pun mampu menarik perhatian khalayak. Isi dari iklan Gerindra memang tampak berbeda dengan jurus-jurus iklan parpol lainnya. Kalau parpol lain cenderung menyerang kebijakan pemerintah atau mengungkap kekurangan-kekurangan penguasa, Gerindra justru tidak menyinggung itu sama sekali. Parpol yang mengusung Probowo Subianto sebagai calon presiden ini justru mengajak orang untuk melakukan sebuah perubahan. Iklan Gerindra telah membawa warna baru dalam komunikasi politik kita. Tidak menghujat ataupun menyerang, namun menampilkan sebuah harapan dan perubahan dengan mengajak untuk mengubah perilaku yang mungkin tidak populer tapi besar pengaruhnya pada perekonomian, yakni mengkonsumsi buatan dalam negeri.
Berarti, iklan konvensional melalui spanduk dan baliho mulai dipertanyakan efektivitasnya. Menurut survei yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia, partai-partai yang masih menggunakan komunikasi konvensional menunjukkan penurunan dukungan. Sedangkan yang sering beriklan justru menunjukkan kenaikan popularitas dan bahkan dukungan. Dalam survei tersebut, Partai Gerindra pada Juni 2008 baru mendapat dukungan 1%, dan pada bulan November angkanya sudah meningkat menjadi 3%. Perolehan dalam survei tersebut menjadi bukti bahwa kampanye di televisi mampu menarik pemilih bahkan yang yang bukan partisan sekalipun. Kemudian, melalui iklan tersebut berpotensi pula menggiring attention kelompok swing voter pada partai yang beriklan tersebut. Namun, Partai Gerindra secara garis besar menawarkan sebuah kemandirian bangsa, baik terkait masalah ketahanan pangan maupun energi. Melihat potensi yang ada di negara ini, ajakan itu adalah sesuatu hal yang wajar saja. Bersamaan dengan hal itu, iklan Gerindra tersebut digulirkan terus menerus dan tidak ada partai lain yang menyaingi, sehingga menjadi kemudian menjadi sebuah isu yang kemudian melekat pada pengusungnya. Katakanlah, banyak parpol yang sebenarnya mengusung tema itu, namun hanya Gerindra yang dengan tekun mengkampanyekannya. Sehingga, awareness yang melekat di masyarakat adalah isu kemandirian bangsa sudah melekat menjadi citra dari Gerindra.


Demokrasi sebagai inti pembelajaran
Secara etimologi, demokrasi [democratie] adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan [ke] rakyat [an] yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara Sri Soemantri mendefinisikan demokrasi Indonesia dalam arti formal sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan MPR; dan demokrasi dalam arti pandangan hidup menurut Sri Soemantri adalah demokrasi sebagai falsafah hidup.
Dalam sejarah lahirnya demokrasi yang salah satunya dipelopori oleh John Locke [1632-1704 M]. Pemikiran Locke ini diakui sebagai pemikiran yang paling berpengaruh pada gagasan mengenai kedaulatan rakyat. Buku Locke yang berjudul Two Treaties of Government, menyatakan bahwa semua pemerintah yang sah bertumpu pada "persetujuan dari yang diperintah". Lebih lanjut Lock mengatakan, “Hukum alam identik dengan hukum Tuhan dan menjamin hak-hak dasar semua orang.” Untuk mengamankan hak-hak ini, manusia dalam masyarakat sipil mengadakan "kontrak sosial" dengan pemerintah. Sementara dari pemikir Indonesia, Amien Rais, mengartikan bahwa, sebuah Negara, disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu;
(1) partisipasi dalam pembuatan keputusan,
(2) persamaan di depan hukum,
(3) distribusi pendapat secara adil,
(4) kesempatan pendidikan yang sama,
(5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama,
(6) ketersediaan dan keterbukaan informasi,
(7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik,
(8) kebebasan individu,
(9) semangat kerja sama dan
(10) hak untuk protes.
Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh nya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertangungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama hal-hal yang berkait dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa yang telah ada. Inilah pemikiran dasar mengenai makna demokrasi yang terkait dengan personal pimpinan serta tanggung jawab dan kewajibannya dalam memimpin masyarakat.


Pembahasan Masalah
Aktifitas komunikasi mestinya menjadi proses artikulasi bagi kepentingan kelompok masyarakat yang lemah. Lewat pemikiran kelompok aliran Frankfurt memperkenalkan bahwa kemunculannya dalam rangka mempromosikan suatu filosofi sosial, dimana teorinya mampu menawarkan suatu interkoneksi dan pengujian yang menyeluruh terhadap perubahan bentuk dari masyarakat, dari kultur ekonomi, dan dari kesadaran. Kelompok ini dipelopori oleh Jurgen Habermas, teorinya menggambarkan pemikiran dalam jangkauan yang luas dan menyajikan sebuah pandangan yang kritis yang berkaitan langsung dengan sosial dan juga bagaimana berkomunikasi. Dalam teorinya dikatakan, ada tiga hal yang harus dipegang oleh seorang pada saat menyampaikan pesannya kepada khalayak, adalah 1. Kebenaran; 2 Ketulusan; dan 3 Kelayakan. Klaim atas kebenaran tidaklah dengan mudah untuk dipertahankan, ketika seorang tidak dipercaya bahwa dia telah menyatakan dengan benar.
Habermas menjelaskan, bahwa suatu wacana untuk menjelaskan hal-hal spesial dalam berkomunikasinya seseorang, ketika pernyataannya ditentang khalayak. Tidak seperti lazimnya sebuah komunikasi, ”wacana” tersebut adalah, sebuah sistem argumen yang menimbulkan daya tarik tersendiri untuk menunjukan kevalidan sebuah klaim. Untuk itu dikenal ada beberapa jenis wacana, dan ini sangat tergantung daripembicaraan/pidato yang akan dipertahankannya:
1. Klaim kebenaran yang diargumentasikan dengan ”wacana teoritis”, dengan menekan fakta-fakta yang ada.
2. Ketika kelayakan diargumentasikan dengan menggunakan ”wacana praktis” dan berisi untuk menekan norma-norma yang ada. Artinya mengukur ketulusan seseorang diperlukan langkah-langkah tersendiri untuk mendapatkan keasliannya.
3. Ketika pembicara tidak mempunyai standard atau konsep untuk mengevaluasi kekuatan sebuah argumen, dan kemudian dia menggunakan wacana yang lebih tinggi atau ”wacana metateoritis”. Merujuk kepada teori teori yang ada dan melahirkan teori yang baru. Di sini pembicara berarti berargumetasi tentang dari sejumlah fakta yang berniali baik untuk sebuah klaim atau norma yang diperlukan untuk disampaikan kepada khalayak.

Dalam demokrasi seperti saat ini di Indonesia, peluang untuk terjadinya rotasi kekuasaan tetap selalu ada, dan dilaksanakan secara teratur dan damai. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan -biasanya kalaupun ada- hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan tersebut, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Sebaliknya dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.
Pembelajaran bagi masyarakat tentang demokrasi, tidak hanya dalam menentukan pilihan pada calon pemegang kekuasaan saja. Pemilu adalah momentum untuk pemilihan pemegang kekuasaan, dan proses menuju pemahaman terhadap makna demokrasi menjadi sangat penting, karena dengan bekal pengetahuan demokrasi yang matang, para partisan, dengan hati tetap, memilih seorang calon pemimpinnya. Pengetahuan tentang demokrasi ini adalah proses pembelajaran yang panjang, yang tidak datang begitu saja pada setiap pribadi partisan. Proses panjang itu adalah bagian dari pendidikan berdemokrasi dalam bernegara dan berbangsa. Proses berdemokrasi bagi bangsa, hanya akan terlaksana bila bagi para calon politisi dan calon penguasa tersebut dengan sadar memberikan pemahaman dan pembelajaran dalam kampanyenya. Kampanye yang tidak diisi hanya dengan janji dan harapan-harapan semata yang ditujukan kepada para konsituen. Namun secara moral dan etika, para calon politisi tersebut dalam melaksanakan kampanyenya memberikan persuasi terhadap konsituennya dengan memberikan pembekalan berupa kesadaran untuk berdemokrasi, kesadaran untuk berkonstitusi, dan kesadaran bernegara.
Proses demokrasi di Indonesia saat ini sudah lebih maju dibanding 10 tahun yang lalu. Kemajuan tersebut ditandai dengan proses pemilihan langsung presiden maupun kepala daerah. Hal ini jelas berpengaruh pada kampanye para kandidat kepala daerah ataupun presiden. Kini, ketika memasuki masa kampanye 2009, hampir semua calon memajang gambar wajah dan imbauan untuk memilih dirinya. Menurut Hendrasmo, Direktur Komunikasi dan Media Lingkaran Survei Indonesia [LSI] yang juga Direktur Eksekutif Citra Publik lndonesia, menilai kondisi yang terjadi saat ini sebagai "inflasi persuasi". Suatu situasi di mana mayoritas partai berusaha mempersuasi khalayak dengan melalui sejumlah media massa."Saya kira justru iklan politik cukup kesulitan karena orang tidak mudah terpengaruh iklan dan tingkat elektabilitas [keinginan memilih] parpol yang rendah. Itu tentunya akan banyak pengaruh pada efektivitas iklan, jelasnya. Selain itu, ia juga menekankan besaran iklan suatu parpol atau kandidat akan berkorelasi positif terhadap perolehan suara. Namun ada aspek-aspek lain yang harus diperhitungkan. Popularitas, ketepatan isu, pemilihan media, dan reputasi kandidat harus juga terintegrasi dalam kampanye. Dengan kata lain, political marketing yang terintegrasi berperan dalam pemenangan kandidat. Pada masa menjelang pemilu seperti ini, biasanya parpol-parpol berlomba membelanjakan dana untuk mengemas produk sebaik mungkin agar diapresiasi positif oleh calon pemilih. Nielsen Media Research mencatat bahwa selama Januari September 2008, belanja iklan politik sudah mencapai Rp 1,39 triliun. “ Berarti khalayak telah kebanjiran iklan politik dalam kehidupan kesehariannya. Promosi dalam demokrasi memang tidak bisa dihindari karena rakyat harus tahu partai mana yang dipilih, perlu tahu pemimpin yang akan dipilih. "Para calon perlu menjelaskan diri di depan masyarakat. Mereka tentu juga punya tujuan supaya dikenal dan menang. Ini sesuatu yang wajar”. tutur Franz Magnis Suseno, pakar etika politik sekaligus Ketua Yayasan Pendidikan Driyarkara.
“Masyarakat menjadi gagap, tak berdaya dan mengalami konflik pemikiran,” demikian menurut Prof. Dedi Mulyana pakar komunikasi Indonesia. Masyarakat massa, tengah berlangsung di Indoneia. Dimana masyarakat dengan mudah dipengaruhi media, karena media mempunyai kekuatan yang besar, namun ironisnya media telah membentuk disfungsionalitas dalam pemikiran masyarakat, demikian menurut teori masyarakat yang di prakarsai Baran dan McQuail. Frederick Wiliam [1989] mengatakan setelah penelitiannya tentang khalayak: “ orang-orang yang menyaksikan terus menerus tayangan televisi seringkali memiliki sifat yang stereotipe tentang peran dari tokoh yang biasa muncul secara intens dalam televisi”.
Namun demikian, kandidat yang dipaksakan dalam waktu pendek, dan pembentukan awareness yang cepat dengan menggunakan uang yang tidak sedikit. biasanya akan ter jebak dalam pragmatisme politis dengan menonjolkan hal-hal yang bersifat artifisial belaka.
Berarti berdasarkan frekuensi iklan televisi yang begitu intens dan dengan mengeluarkan belanja media yang tidak sedikit justru tidak memberikan banyak pembelajaran yang bermanfaat dalam pengenalan demokrasi di masyarakat.
Di jelaskan di atas, bahwa dalam demokrasi, setiap pemimpin harus dapat memper tangungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan memiliki perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalankan, dan terutama adalah mereka yang berkait dengan profesi di selama masa baktinya
Menjadi pertimbangan yang sangat mendasar bagi tokoh capres Gerindra ini, dengan adanya keterkaitan dengan latar belakangnya, karena memiliki masa lalu yang terkait dengan pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, si tokoh harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, dan hal itu sekarang sedang berjalan bersama dengan meningkatnya angka dukungan sampai bulan November lalu telah mencapai sebesar 3%.
Disisi lain kondisi mass media yang telah di “eksploitasi” sedemikian rupa telah mampu mengubah cara pandang khalayak terhadap sebuah kebenaran informasi. Tetapi disisi lain menjadi hak setiap warganegara yang memiliki dana untuk melakukan belanja media, sehingga mampu mengisi waktu yang tersedia dengan sebuah informasi. Ironisnya justru informasi yang ditayangkan secara intens tersebut justru tentang sesorang yang memiliki masa lalu yang kelam, masa lalu yang tindakannya telah merugikan banyak khalayak. Kemudian dengan kekuatan media juga telah terjadi pengabaian yang sangat mendasar mengenai pembelajaran demokrasi bagi masyarakat.
Jika diasumsikan bahwa pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin yang mampu
membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, maka seharusnya dalam bebe rapa tahun ke depan Indonesia harus mengalami peningkatan taraf kesejahteraan masyara kat. Namun sayangnya hal ini belum terjadi secara signifikan. Hal ini sebagai akibat masih terlalu kuatnya kelompok yang pro-KKN maupun anti perbaikan.

Demokrasi di Indonesia masih berada pada masa transisi dimana berbagai prestasi sudah
muncul dan diiringi ”prestasi” yang lain. Sebagai contoh, munculnya institusi-institusi, lembaga, badan yang seharusnya mampu menimbulkan efek jera bagi para pelanggar hukum. Namun di sisi lain, justru para pelanggar tersebut mendapatkan pengampunan yang tidak sepadan dengan tindakannya.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan mereka yang lebih menentramkan dalam berbagai bidang kehidupannya. Seharusnya justru demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang peduli terhadap rakyat, pemimpin yang memberikan harapan bagaimana saat ini masyarakat sedang dalam pembelajaran dan meng-implementasikan demokrasi itu sendiri.
Pada sisi lain masih terkait dengan semangat pembelajaran berdemokrasi, adalah menjadi hak sepenuhnya bagi setiap warganegara untuk mencalonkan sebagai pemimpin, selama uji kredibilitas itu tetap berjalan. Berarti bagi tokoh Gerindra ini pun peluang untuk menjadi capres adalah tetap terbuka, namun mengingat track record, tentunya dengan berjiwa besar, sebagai gambaran bentuk tanggung jawabnya seperti yang termuat dalam UUD 1945 Bab XI pasal 28F dan 28J di atas, maka sebaiknya meminta maaf kepada rakyat dan terutama kepada mereka dari keluarga yang terkait, adalah menjadi keharusan. Tidak menutup kemungkinan karena jiwa besarnya ini pula justru akan lebih melambungkan jumlah pemilihnya di pemilu mendatang.
Adalah menjadi tanggung jawab sosial bagi si perencana/desainer sebagai pencetus idea dalam menciptakan idea kampanye, untuk mengamati secara mendalam setiap pekerjaannya. Terutama dalam rangka membangun citra sesorang yang akan dijadikan sebagai calon pemimpin Negara. Pengetahuan terhadap latar belakang pribadi, track record, makna demokrasi serta maksud dan tujuan kampanye, adalah hal yang sangat penting dikenali sejak awal pekerjaan. Kita sering terkesiap oleh jumlah dana kampanye yang besar, tapi tidak melihat konsekwensi dari keberhasilnnya kelak bila terpilihnya sang calon, yang berdampak luas kepada kehidupan masyarakat dan masa depan bangsa. Kalaupun kemudian pelaksanaan itu tetap harus berjalan hendaknya desainer harus juga mencari jalan keluarnya yang terbaik sehingga dapat menetralisir kekurangan-kekurang yang ada tanpa merugikan fihak masyarakat.





Daftar Pustaka :
1. Littlejohn, Stephen W 2001. The theories of Human Communication. CA : Wadworth/Thomas Learning
2, Sasa Djuarsa S 2003 Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka.
3. Lavirge, R and G.A Steiner 1961 A Model for Predictive Measurmentd of Advertising Effectivness. USA : Prentice Hall
4. Chomsky, Noam and Herman, ED. 1988 The Political Economy of The Mass Media. USA : Pantheon Books.
5. Rio, Mario Ahmad 2004 Hubungan Iklan Politik di Televisi Dengan Partai Politik Pada Pemilu Legislatif 2004. Skripsi Universitas Paramadina, Jakarta.
6. Budiardjo, Miriam 2000 Dasar dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia
7. Nimmo, Dan 1999 Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan dan Media, terjemakan Tjun Surjaman. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
8. Bryant, Jennings, dan Dolf Zilman 1994 Mass Communication Theory. California: Foundation Ferment and Futur
9. Gomez, Jukita, dan Lili B. Arante 1986 Advertising. Philipine : National Book Stores, Inc.
10. Russell, J Thomas, dan Ron Lane 2000 Kleppner’s Advertising Procedures. New Jersey: Prentice Hall College Division.