Februari 26, 2009

DUA CAKRAWALA

DUA CAKRAWALA

Malam telah terseruak di sibak pagi yang dingin, detak jam terdengar jelas karena dini hari itu sunyi sekali. Kenongan kerbau yang tergantung di atas teras samping kamar kami sesekali berdentung pilu ditiup angin. Aku terjaga karena merasakan kegangatan yang lembut di sepanjang bagian belakang tubuhku, rupanya dia tengah melekat erat di sana. Entah kenapa, hampir bersamaan kami terjaga . Dan sempat kutanyakan “jam berapa sekarang Nay”, “jam tiga mas”. Wah ternyata masih seperti biasa “undangan” itu telah kembali menghimbau jiwaku disetiap pagi. Memang hapir tak putus aku selalu terbangun pada jam jam itu , merasa “terundang” untuk bangun dan menunggu waktu resmi beraudisi dengan Nya. Dan sebagai hamba aku tidak mau “rugi” untuk beraudisi”beberapa saat terlebih dahulu sebelum waktu resmi itu datang, dan waktu beraudisi resmi itu aku laksanakan bersama kerabat di masjid kecil di komplekku” Tadi malam dia berceritera banyak dengan ku” kata istriku “ Bahkan cici “– panggilan anaku paling kecil-“ sempat juga ngobrol , dan sepertinya berceritera hangat berdua, dan sesekali akupun diajaknya bergantian.” kata istriku. “ Dan kami bertiga berceritera hangat hingga jam sepuluh tadi malam mas “. Tadi malam aku memang sangat penat dan jam delapan malam tadi aku tidur lebih dini. Kehangataan di sepanjang belakang tubuh telah mengusik kebutuhan jiwaku yang lain, yang kemudian mendorongku untuk segera membalikan seluruh badanku, Dan sekarang kehangatan menjalar di sepanjang bagian depan badanku. Di luar hujan deras turun seperti limpahan air dari langit menyirami daun di pepohonan didepan jendela kamar kami, berpadu dengan bunyi kenongan kerbau yang terdengar dalam ritme yang lebih kerap, Semua nada alam itu berpadu dengan kehangatan dan wangi rambut dan wangi badan istriku, telah mejalarkan panas bukan hanya di sepanjang bagian depan tubuh, tetapi telah membangunkan bagian indra yang lain.Yang kemudian mendorong menjadi gerak yang disalurkan lewat setiap organ.Pagi dini hari itu dia telah berikan apa yang selalu aku inginkan dengan sangat baik, hingga bahkan akupun tak mampu menerimanya.
Temaram jingga matahari senja menjadi dua, karena pantulannya di permukaan danau itu sangat serupa, yang satu nyata yang satu maya.Meja, kursi tertata di tepi danau itu, bahkan sebagian meja masih berisi makanan sisa kami siang tadi.Semua pemandangan itu terlihat jelas serupa lukisan di jendela ruang tamu mama Fir. Dia adalah wanita yang penuh welas asih, pandangannya luas menyelesaikan memandang permasalahan selalu dari sudut sudut yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya oleh kami.Dia adalah kawan bicara dan diskusi yang takpenah membosankan.Ditemani segelas wedang jahe hangat dan pisang rebus kami terlibat pembicaraan yang jauh dan sesekali pecah tertawa kami.Tiba tiba masuk sebuah kendaraan sedan merah, dan ketika sampai di halaman langsung membuka pintu samping sopir.Seorang lelaki muda dengan wajah bulat, kulit putih,berkacamata.Model rambutnya tipis di samping dan bagian atas dibiarkannya lebat, dengan disisr tengah terlihat ramah dan sangat elegan. Dia disertai anak laki-laki yang tidak lama kemudian cici anak kami pun sudah akrab bermain di dalam cabin mobilnya.Istriku berpamitan kepadaku dan mama Fir.Tanpa banyak bicara diamenuju mobil dan duduk disamping lelaki tadi.Taklama kemudian mereka pergi dan anaku masih sempat mengucapkan salam kepada ibunya yang kemudian tidak dijawabnya.Aku masih melihat mobil merah itu hingga di tikungan jalan menuju gerbang halaman rumah mama Fir yang luas.Namun anehnya tak terbersit sedikitpun rasa cemburu pada hatiku.Aku memandang kepada mama Fir, tapi dia hanya berlalu dan menuju taman bunganya.
Azan Jumat berkumandang dan kami – aku dan Cici bergegas menuju masjid di tepi danau sana,sebelumnya kusampiri beberapa kawan yang tinggal di beberapa bungalai di kawasan itu.Interior masjid yang agung, hawa yang sejuk dan pemandangan danau yang terlihat jelas ari hampir seluruh jendela masjid menenggelamkan semua pikiran mobil merah dan isinya. Aku tertuju penuh padaNya.Hingga azan subuh membangunkanku, dan sungguh bahagia dia masih tertidur di sampingku, ku peluk dia, dan pelan pelan ku beringsut dari tempat tidur,lalu mandi.Dan dengan syukur aku masih diberikesempatan berkumpul dengan istri dan Cici anaku.
Dengan sadar aku menyusun doa dan apunan dalam sujud ku. Betapa layaknya memberi nafkah pada isteri sesuai dengan ketentuanNya karena dia memiliki hak untuk itu. Namun aku pun sebagai manusia memiliki kewajiban yang patut di jalankan dengan baik, dan dalam tahun baru ini harus menjadi lebih baik.Dalam waktu yang bersamaan semua itu tetap harus terlaksana dengan benar.Pagi itu aku kehilangan kesempatan ku untuk beraudiensi dalam sunyi denganNya, tapi aku mendapat gejolak baru pendorong kehidupan.Aku kehilangan kesempatan beraudiensi secara berjamaah dengan sahabat sahaabtku di sana, tapi aku telah belajar merasakan kehilangan walau itu dalam mimpi.
Semoga Allah yang maha mengerti dapat memaklumi aku yang buta, dan dengan kasihnya berkenan memaafkan aku.
\

Puri awal tahun 08,ajf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar